“Ayah…” Sapa Ridha padaku. Aku baru saja pulang dari kantor dan melihat Ridha main sendiri di taman. Setelah mengenakan kaos kesukaanku, aku bergegas melangkah menuju taman.“Assalamu’alaikum ..” Sapaku sambil berdiri di ambang pintu belakang rumah kami.
“Wa’alaikum salam Ayah...” sahut Ridha yang sedang berlari-lari kecil..
Ridha adalah anak sulungku yang masih berumur sepuluh tahun. Hampir setiap siang setelah pulang sekolah buah hatiku ini bermain sendiri di taman belakang rumah kami yang sederhana ini. Terkadang aku dan istriku menyuruhnya untuk bermain di luar rumah. Namun dia hanya menjawab kalau tadi waktu di sekolah dia sudah bermain dengan teman-temannya dan setelah pulang ke rumah dia harus di rumah untuk membantu bundanya atau jika tidak ada yang perlu dibantu dia akan belajar atau menghafal Al Quran dan pelajaran-pelajarannya.
“Anak ayah sedang olah raga ya?” Tanyaku sambil mencari bebatuan besar di tepi kolam ikan untuk duduk.
“Bukan ayah, Ridha sedang menghapal juz ke lima” jawab Ridha riang,
“Subhanallah, anak ayah sudah hafal juz lima rupanya” Aku mencoba duduk di atas sebuah batu di pinggir kolam.
“ Ayah baru tau sekarang ya?’ sambut Ridha sambil memperlambat larinya dengan jengkel.sepertinya dia mulai lupa dengan hafalannya.
“Maafkan ayah!!, tapi kemarin ayah sudah belikan hadiah untuk hafalan tiga juz anak ayah. Iya kan??” Aku memelas sambil tersenyum.
“ Apa ayah masih ingat berapa bulan Ridha bisa sampai juz lima, Yah?”
“Emm… tiga bulankan sayang?”
“ Astaghfirullah… Ayah Ridha udah umuran berapa ya…? Ayah kok jadi pelupa. Ridha cuma butuh dua bulan, Yah…”
“Subhanallah.... Allah mengabulkan do’a ayah. Allah… engkau akhirnya mengaruniai hafizul Quran dari darah daging hamba sendiri ya Rabb...” Aku mengangkat tangan sambil berdo’a dengan senyuman dan mata yang berkaca-kaca.
“Amin... tapi kan belum Yah. Ridha masih lima juz” sambut Ridha gembira.
Ridha duduk di dekatku sambil mencium keningku. Walau anakku sudah sepuluh tahun tapi dia masih manja seperti tiga tahunan.
“Ayah, teman-teman Ridha hanya beberapa orang yang bisa hafal Qur’an, itupun cuma juz Amma. Teman yang lain untuk sekedar membaca Qur’an juga ada yang belum bisa, Yah” anakku mulai bercerita sambil memainkan batu-batu di dekatnya.
“Mungkin orang tua mereka belum sempat mengajarkannya sayang” Aku memeluk dan mencium pipi Ridha.
“Belum sempat bagaimana Yah? Kamikan sudah sepuluh tahun. Kata nabi, anak sebesar kami yang tidak mau shalat saja harus dipukul kan yah? Lalu bagaimana dengan teman-teman yang masih belum diajarkan baca Qur’an? apa orang tuanya yang harus dipukul Yah?” Ridha muali kesal dengan jawabanku yang setengah hati. Aku selalu saja memancing dia untuk serius, setelah itu aku baru memberikan jawaban yang sedikit lebih mantap.
“Ayah rasa mereka belum tau itu, sayang.” Aku mulai serius menyimak pembicaraan ridha. Aku kagum dengan anak sulungku yang sangat terbuka ini.
“Ya Allah… Ayah negeri kitakan aman, kaya dan subur, Yah. Apa coba kurangnya? Orangnya baik-baik semua, tidak ada perang, kekurangan makanan, dan kehilangan tempat tinggal. Kita punya semuanya, bahkan kita juga punya keluarga yang lengkap. Tidak seperti negara arab itu, Negara apa,Yah?”
“Palestina sayang!!!” Jawabku dengan penuh antusias
“e… betol yah.” Anakku ini rupanya bisa berlagak seperti guru.
“ Mereka kabarnya manusia yang luar biasa, Yah. Ridha dengar dari ustadh kalau anak-anak kecil mereka rata-rata sudah hafal Qur’an walaupun anak-anak bayi mereka lahir di tenda-tenda pengungsian. Bahkan tidak jarang tentara Israel itu menahan mobil ambulance ibu-ibu mereka saat akan melahirkan. Belum lagi mereka juga ikut berperang membantu ayah-ayah mereka untuk mempertahankan negeri mereka dari Yahudi itu.”
“Iya sayang. Saudara kita di sana sedang diuji oleh Allah. Mereka kehilanngan orang tua, keluarga, teman, dan guru-guru mereka. Hampir setiap hari sejak penyerangan Israel, mereka menyaksikan anak-anak mati. Rumah-rumah mereka juga dihancurkan oleh Israel terkutuk itu, mereka kekurangan makanan untuk mengganjal lapar mereka, dan tempat untuk mengadu segala kegalauan mereka. Mereka hanya yakin Allah akan selalu menjaga mereka, Allah akan memerdekakan negeri yang diberkahi itu.” Aku melihat Ridha mulai suka dengan penjelasanku. Aku selalu berusaha memberitahukan Ridha apa saja dengan sedetil-detilnya.
“Ayah, apa yang mereka harapkan dalam kehidupan mereka yang tidak pasti itu Yah?” anakku mulai larut dengan pembicaraan kami.
“ Jangan pernah katakana kalau hidup mereka tidak pasti sayang. Ayah semalam baca di Koran kalau akhir desember kemarin ada acara wisuda penamatan hafalan 30 juz 1000 anak palestina, umurnya baru 10 tahun,sama seperti umurmu, Sayang. Mereka belajar di antara puing-puing reruntuhan gedung yang hancur, yang tanahnya sudah diratakan, diatasnya diberi beberapa helai daun pohon kurma, Ayat-ayat Jihad paling cepat mereka hafal, karena memang didepan mereka tafsirnya. Kamu harus bisa seperti mereka Ridha. Mereka hanya berharap merdeka atau mati sebagai syuhada.”tampa terasa air mataku ingin jatuh dan langsung saja ku alihkan pandanganku dari Ridha.
Aku mengelus rambut Ridha yang terus menyimak pembicaraanku.
Istriku melintas sambil memegang jemuran ditangannya. Dia sedang anakku yang kedua. Aku teringat dengan salah satu isi berita dari Koran tersebut bahwa orang palestina telah syahid sampai 1400 orang, 600 diantaranya adalah anak-anak, namun sejak penyerangan itu sampai hari ini, mereka menyambut lahirnya 3000 bayi baru Dijalur Gaza, dan Subhanallah kebanyakan mereka adalah anak laki-laki dan banyak yang kembar, Allahu Akbar!
“ Engkau masih sangat beruntung Nak. Engkau masih punya ayah dan bunda yang selalu menemanimu. Ayah harap engkau bisa berguna untuk agama kita ini. Kelak di syurga Ayah dan bunda bisa memakai mahkota dari Allah seperti para orang tua teman-temanmu di palestina yang telah hafal Quran dan mengamalkannya.”
Aku melanjutkan percakapan kami dan memeluk pundak Ridha serta membelai muka buah hatiku itu. Dia adalah tanggung jawab terbesarku dan aku harus membawanya ke jalan yang bisa menjadikannya berguna untuk dunia dan akhirat, kelak. Aminn.
Ridha membenamkan wajahnya ke dadaku. Aku sadar bahwa dia adalah anakku dari negeri yang merdeka, aman, indah, dan mengagumkan. Negeriku terlalu sempurna untuk orang-orang yang tidak bisa membangunnya seperti kita semua. Tidak seperti saudara-saudara kita disana. Walau mereka hampir kehilangan negerinya, tapi mereka terus mempertahankannya dengan darah suci mereka.
Ingatlah saudaraku, “Allah akan memenuhi janjinya…”
by: temanku
Tidak ada komentar:
Posting Komentar