Senin, 03 Januari 2011

Negeriku

“Ayah…”  Sapa  Ridha padaku. Aku baru saja pulang dari kantor dan melihat Ridha main sendiri di taman. Setelah mengenakan kaos kesukaanku, aku bergegas melangkah menuju taman.“Assalamu’alaikum ..” Sapaku  sambil berdiri di ambang pintu belakang rumah kami.       
“Wa’alaikum salam  Ayah...” sahut Ridha yang sedang berlari-lari kecil..
Ridha  adalah anak sulungku  yang masih berumur sepuluh tahun. Hampir setiap siang  setelah pulang sekolah buah  hatiku ini bermain sendiri di taman belakang rumah  kami yang sederhana ini. Terkadang aku  dan  istriku menyuruhnya untuk bermain di luar rumah. Namun dia hanya menjawab kalau tadi waktu di sekolah dia sudah bermain dengan teman-temannya dan setelah pulang ke rumah  dia harus di rumah untuk membantu bundanya atau jika tidak ada yang perlu dibantu  dia akan belajar atau menghafal Al Quran dan pelajaran-pelajarannya.
“Anak ayah sedang olah raga ya?” Tanyaku sambil mencari bebatuan besar  di tepi kolam ikan untuk duduk.
“Bukan ayah,  Ridha sedang  menghapal  juz ke lima” jawab Ridha riang,
“Subhanallah, anak ayah sudah hafal juz lima rupanya” Aku mencoba duduk  di atas sebuah  batu  di pinggir kolam.
“ Ayah baru tau sekarang  ya?’ sambut Ridha sambil memperlambat larinya dengan jengkel.sepertinya dia mulai lupa dengan hafalannya.
“Maafkan ayah!!, tapi kemarin ayah sudah belikan hadiah untuk  hafalan tiga  juz anak ayah. Iya kan??” Aku  memelas sambil tersenyum.
“ Apa ayah masih ingat  berapa bulan  Ridha bisa sampai juz lima, Yah?”
“Emm… tiga bulankan sayang?”
“ Astaghfirullah… Ayah Ridha udah umuran berapa ya…? Ayah  kok jadi pelupa. Ridha cuma butuh dua bulan, Yah…”
“Subhanallah.... Allah mengabulkan do’a ayah.  Allah… engkau akhirnya mengaruniai  hafizul Quran dari darah daging hamba sendiri ya Rabb...” Aku  mengangkat tangan sambil berdo’a dengan  senyuman  dan mata yang berkaca-kaca.
“Amin... tapi kan belum Yah.  Ridha  masih  lima juz” sambut  Ridha gembira.
Ridha duduk di dekatku  sambil mencium keningku. Walau anakku sudah sepuluh tahun tapi dia masih manja seperti tiga tahunan.
“Ayah, teman-teman Ridha hanya beberapa orang  yang bisa  hafal Qur’an, itupun cuma juz Amma. Teman yang lain  untuk sekedar membaca Qur’an  juga ada yang belum bisa, Yah” anakku mulai bercerita sambil memainkan batu-batu di dekatnya.
“Mungkin orang tua mereka belum sempat mengajarkannya sayang” Aku  memeluk dan mencium  pipi Ridha.
“Belum sempat bagaimana Yah? Kamikan sudah sepuluh tahun. Kata nabi, anak  sebesar kami yang tidak mau shalat saja harus dipukul kan yah? Lalu bagaimana  dengan teman-teman yang masih belum diajarkan baca Qur’an? apa orang  tuanya yang harus dipukul Yah?” Ridha muali kesal dengan jawabanku yang setengah hati. Aku selalu saja memancing dia untuk serius, setelah itu aku baru memberikan jawaban yang sedikit lebih mantap.
“Ayah rasa mereka belum  tau  itu,  sayang.” Aku mulai serius menyimak pembicaraan ridha. Aku  kagum dengan anak sulungku yang sangat terbuka ini.
“Ya Allah… Ayah negeri kitakan aman, kaya dan subur, Yah.  Apa coba kurangnya? Orangnya baik-baik semua, tidak ada perang, kekurangan makanan, dan kehilangan  tempat tinggal. Kita punya semuanya, bahkan kita juga punya keluarga yang lengkap. Tidak seperti negara arab itu, Negara apa,Yah?”
“Palestina sayang!!!” Jawabku dengan penuh antusias
“e… betol yah.” Anakku ini rupanya bisa berlagak seperti guru.
“ Mereka kabarnya manusia yang luar biasa, Yah. Ridha dengar dari ustadh kalau anak-anak kecil mereka  rata-rata sudah hafal Qur’an walaupun anak-anak bayi mereka lahir di tenda-tenda pengungsian. Bahkan tidak jarang tentara Israel  itu menahan mobil ambulance ibu-ibu mereka saat akan melahirkan. Belum lagi mereka juga ikut berperang membantu ayah-ayah mereka untuk mempertahankan negeri mereka dari Yahudi itu.”
“Iya sayang. Saudara kita di sana sedang diuji oleh Allah. Mereka kehilanngan orang tua, keluarga, teman, dan  guru-guru mereka. Hampir setiap hari  sejak penyerangan Israel, mereka menyaksikan anak-anak  mati. Rumah-rumah  mereka juga dihancurkan oleh Israel terkutuk itu, mereka kekurangan makanan untuk mengganjal lapar mereka, dan tempat untuk mengadu segala kegalauan mereka. Mereka hanya  yakin Allah akan selalu menjaga mereka, Allah akan memerdekakan negeri yang diberkahi itu.” Aku melihat Ridha mulai suka dengan penjelasanku. Aku selalu berusaha memberitahukan Ridha apa saja dengan sedetil-detilnya.
“Ayah, apa yang mereka harapkan dalam  kehidupan mereka yang tidak pasti itu Yah?” anakku mulai larut dengan pembicaraan kami.
“ Jangan pernah katakana kalau  hidup mereka tidak pasti sayang. Ayah semalam baca di Koran kalau  akhir desember kemarin ada acara wisuda penamatan hafalan 30 juz 1000 anak palestina, umurnya baru 10 tahun,sama seperti umurmu, Sayang. Mereka belajar di antara puing-puing reruntuhan gedung yang hancur, yang tanahnya sudah diratakan, diatasnya diberi beberapa helai daun pohon kurma, Ayat-ayat Jihad paling cepat mereka hafal, karena memang didepan mereka tafsirnya. Kamu harus bisa seperti mereka Ridha. Mereka hanya berharap merdeka atau  mati sebagai syuhada.”tampa terasa air mataku ingin jatuh dan langsung saja ku alihkan pandanganku dari Ridha.
Aku   mengelus rambut Ridha  yang terus menyimak pembicaraanku.
Istriku melintas sambil memegang jemuran ditangannya. Dia sedang anakku yang kedua. Aku teringat dengan salah satu isi berita dari Koran tersebut bahwa orang palestina telah  syahid sampai 1400 orang, 600 diantaranya adalah anak-anak, namun sejak penyerangan itu sampai hari ini, mereka  menyambut lahirnya 3000 bayi baru Dijalur Gaza, dan Subhanallah kebanyakan mereka adalah anak laki-laki dan banyak yang kembar, Allahu Akbar!
“ Engkau masih sangat beruntung  Nak. Engkau masih punya ayah dan bunda yang selalu menemanimu. Ayah harap engkau bisa berguna untuk agama kita ini. Kelak di syurga Ayah dan bunda  bisa memakai mahkota dari Allah  seperti para orang tua teman-temanmu di palestina yang telah hafal Quran dan mengamalkannya.”
Aku  melanjutkan percakapan kami dan memeluk pundak Ridha serta membelai  muka buah hatiku itu. Dia adalah tanggung jawab terbesarku dan aku harus membawanya  ke jalan yang bisa menjadikannya  berguna untuk  dunia dan akhirat,  kelak. Aminn.
Ridha membenamkan wajahnya ke dadaku. Aku sadar bahwa  dia adalah anakku  dari negeri yang merdeka, aman, indah, dan mengagumkan. Negeriku terlalu sempurna untuk orang-orang yang tidak bisa membangunnya seperti kita semua. Tidak seperti saudara-saudara kita disana. Walau mereka hampir kehilangan negerinya, tapi mereka terus  mempertahankannya dengan darah suci mereka.
Ingatlah saudaraku, “Allah akan memenuhi janjinya…”

by: temanku


Tidak ada komentar:

Posting Komentar